Titip Doa Kepada Para Tamu Allah

Senin, 08 Oktober 2012

Labaik allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik
Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak

Sample ImageItulah kalimat-kalimat kepasrahan dan ketauhidan yang terus berdengung sepanjang hari-hari haji. Allah terus dipuji dan diagungkan dan memang tiada yang patut dipuji dan diagungkan kecuali Dia.
Manusia dari berbagai ras dan bangsa berkumpul menjadi satu. Mereka menjadi Dhuyuf ar-Rahman (tamu Allah yang Maha Pengasih). Memenuhi panggilan Allah yang pernah diserukan oleh Nabi Ibrahim AS. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Mereka sedang menikmati jamuan Allah. Jamuan spiritual tingkat tinggi. Pengalaman agung yang tak terlupakan. Saat itulah Allah membanggakan hamba-hamba yang hadir memenuhi panggilan-Nya. “Jika hari Arafah, Tuhan turun dari langit dan membanggakan mereka (jamaah haji) di hadapan malaikat-malaikat-Nya seraya berkata: “Lihatlah hamba-hamba-Ku dengan rambut kusut, pakaian berdebu dan di bawah terik matahari dari berbagai penjuru negeri. Aku memberitahu kalian bahwa, Aku telah mengampuni mereka.” (HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, al-Bazzar)
Saat itulah rintihan hamba sangat didengar. Waktu itulah munajat seorang hamba begitu mudah dikabulkan. Di tempat mulia, pada hari mulia, pada ibadah mulia, pada keadaan yang diridhai Allah.
Dari Tanah Suci untuk Kami
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memohon izin kepada Rasulullah untuk pergi melaksanakan umrah. Umar berkata: “Beliau mengizinkan saya dan berkata kepada saya, “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam doamu.” Dalam riwayat lain, “Sertakan kami wahai saudaraku dalam doamu.” Selanjutnya Umar berkata: Suatu kalimat yang lebih aku sukai daripada saya menguasai dunia ini. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Para ulama berbeda pendapat, apakah hadits ini shahih atau tidak. Imam Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Sementara sebagian ulama mendhaifkan hadits tersebut. Dikarenakan ada perawi Ashim bin Ubaidillah bin Ashim bin Umar bin Khattab yang dinyatakan dhaif oleh sebagian ulama.
Terlepas dari perbedaan antara para ahli hadits, ada beberapa hal yang bisa dibahas. Ashim dinyatakan dhaif oleh sebagian ulama diantaranya al-mizzi yang menyatakan bahwa Ashim dhaif. Hal ini berarti bahwa tingkat dhaif Ashim tidak berat apalagi sampai pendusta. Jika haditsnya dinyatakan dhaif yang terlalu berat, maka disinilah nantinya para ulama hadits berbeda pendapat kembali apakah bisa diterima hadits dhaif untuk fadhail a’mal (keutamaan beramal), sejarah, targhib (hadits anjuran) dan tarhib (hadits ancaman) yaitu hadit-hadits yang tidak berisi tema aqidah dan halal haram. Dan hadits di atas tidak membahas tentang aqidah juga bukan tentang halal haram. Maka, masuk dalam perbedaan yang terjadi antara ahli hadits.
Pada pembahasannya, hadits ini mengandung  beberapa hal. Pertama, titip doa kepada para tamu Allah pada ibadah haji dan di tempat-tempat mustajab doa. Kedua, titip doa kepada orang seperti Umar yang jelas memiliki keshalehan tinggi. Ketiga, tawadhu’ Nabi saat meminta doa bahkan kepada orang yang lebih kecil dan rendah secara derajat. Keempat, ad-dua’ bi dzahril ghoib (doa untuk saudara saat yang didoakan tidak bersama kita).
Keempat hal ini bisa dicarikan sandaran dalil yang shahih. Sehingga kita keluar dari perbedaan yang ada.
Untuk masalah yang pertama, memohon agar didoakan orang lain asal tidak salah orang bukan merupakan masalah. Salah orang yang dimaksud umpamanya meminta doa dari non muslim. Atau doa muslim yang fasiq. Karena untuk dikabulkannya doa, diperlukan beberapa syarat. Di antaranya adalah kedekatan kepada Allah yang mengabulkan doa dengan iman dan amal shalih.
Memohon agar didoakan orang shalih, justru masuk kajian dalam tema tawassul (mencari perantara). Ini adalah salah satu tawassul yang dibolehkan dalam Islam. yaitu meminta doanya orang shalih yang  masih hidup. Para shahabat terbiasa meminta doa kepada Rasulullah SAW untuk dirinya atau keluarganya. Jika mereka baru dianugerahi keturunan, bayi masih merah itu langsung dibawa kepada Rasulullah untuk didoakan. Mereka juga meminta doa kepada sesama mereka.
Orang shalih yang berangkat haji, akan berkesempatan untuk bedoa sebanyak-banyaknya di tanah suci dan tempat-tempat yang mustajab doa. Mereka menggabungkan antara konsentrasi ibadah sehingga bisa banyak beribadah dan lebih khusyu’. Mereka juga akan melalui waktu-waktu dan tempat-tempat istimewa yang tidak kita miliki di sini.
Menitip doa yang baik adalah kepada orang yang jelas keshalihannya. Walau tidak seshalih Umar bin Khattab. Dengan menitip doa kepada orang shalih, kita berharap doa-doanya dikabulkan Allah. Karena kedekatannya kepada Allah dengan keshalihannya.
Riwayat di atas juga menunjukkan ketawadhu’an Nabi. Saat beliau meminta agar didoakan oleh orang yang lebih kecil secara usia dan lebih rendah secara derajat. Sekaligus, sebagai petunjuk bahwa meminta doa kepada orang yang lebih rendah derajat dan keshalehannya boleh dilakukan.
Umar sendiri mengajarkan kepada kita pemahaman yang dibuktikan dengan praktik. Sebagaimana disebutkan dalam Siyar a’lam an-Nubala’ saat menceritakan perjumpaan Umar dengan sekelompok masyarakat Yaman yang menghadap Umar. Umar bertanya: Apakah di antara kalian ada yang berasal dari suku Qarn. Sampai Umar mengenali seseorang dan bertanya: Siapa namamu?
Dia menjawab: Uwais (al-Qarni)
Umar: Apakah kamu punya ibu?
Uwais: Ya
Umar: Apakah di badanmu ada belang berwarna putih?
Uwais: Ya, saya berdoa kepada Allah agar menghilangkannya kecuali sebesar dirham di pusarku, agar aku selalu bisa mengingat (nikmat) tuhanku.
Umar: Mintakan ampun untukku
Uwais: Engkau lebih berhak untuk memintakan ampun untukku, karena engkau sahabat Rasulullah SAW.
Umar: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang laki-laki yang bernama Uwais. Dia mempunyai seorang ibu dan ada putih di badannya, dia berdoa kepada Allah agar bisa hilang, maka Allah menghilangkannya kecuali sebesar dirham di pusarnya.
Maka, Uwais pun memohonkan ampun bagi Umar.
Kisah Umar dan Uwais menunjukkan bahwa Umar meminta doa dari orang yang lebih rendah tingkat keshalihannya. Karena, walaupun Uwais disebut sebagai tabi’in terbaik, tetapi Umar yang hidup di generasi sahabat lebih mulia dan shalih dari Uwais.
Umar meminta doa dari Uwais karena disebut oleh Rasulullah sebagai orang terbaik. Maka Umar meminta bagian dari doanya, karena dia orang shalih yang telah disebut Rasulullah dalam nubuwwatnya.
Menitip doa kepada tamu Allah, akan menyebabkan doa dapat dikabulkan. Karena mereka akan berdoa untuk yang ditinggal di sini, tanpa kehadiran orang yang didoakan. Ini yang disebut Nabi SAW sebagai ad-dua’ bi dzahril ghoib (doa untuk saudara saat yang di doakan tidak ada bersama kita).
Dari Shafwan bin Abdillah dia berkata: Saya pergi ke Syam ingin menjumpai Abu Darda’ di rumahnya, tetapi dia tidak ada. Saya hanya menjumpai istrinya, Ummu Darda’. Ummu Darda’ bertanya kepada saya: Apakah kamu akan melaksanakan haji tahun ini? Saya jawab: Ya. Dia berkata: “Doakan kebaikan untuk kami, karena Nabi SAW pernah bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya bi dzahril ghoib (tanpa kehadiran saudaranya itu) akan dikabulkan. Di dekat kepalanya ada satu malaikat yang ditugaskan agar setiap dia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat itu ditugasi untuk berkata: Amin (semoga Allah mengabulkan) dan kamu mendapatkan hal yang sama.” (HR. Muslim)
Semangat mendoakan saudara sesama muslim bi dzahril ghoib adalah merupakan kebiasaan orang shalih terdahulu. Semangat mereka dilandasi janji Nabi bahwa doa dengan cara itu akan cepat dikabulkan. Saudara yang didoakan dari jauh, segera mendapatkan hasil dari doa itu dan bagi yang berdoa tidak ada ruginya, karena dia akan tetap mendapatkan kebaikan dari doa itu sama dengan yang didoakan.
Seperti saat Ummu Darda’ shahabat wanita mulia itu meminta doanya Shafwan yang hendak berangkat haji.
Titip doa kepada para tamu Allah. Untuk kita di sini. Untuk kebaikan semua di sini. Untuk kemakmuran negeri ini. Untuk hadirnya keberkahan agar terbenahi segala yang terburai. Apalagi di sini serba kurang. Di sini serba sulit. Di sini dengan segala ketidakberdayaan, dalam bencana yang datang silih berganti. Jangan lupakan kami di sini dalam doa kalian di tanah suci.

Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Al-Iman bil Ghoib Edisi 96/4



Tidak ada komentar:

Posting Komentar