Labaik allahumma labbaik, labbaika
la syarika laka labbaik
Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak
Itulah kalimat-kalimat kepasrahan dan ketauhidan yang terus berdengung sepanjang hari-hari haji. Allah terus dipuji dan diagungkan dan memang tiada yang patut dipuji dan diagungkan kecuali Dia.
Manusia dari berbagai ras dan bangsa berkumpul menjadi satu. Mereka menjadi Dhuyuf ar-Rahman (tamu Allah yang Maha Pengasih). Memenuhi panggilan Allah yang pernah diserukan oleh Nabi Ibrahim AS. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarika lak
Itulah kalimat-kalimat kepasrahan dan ketauhidan yang terus berdengung sepanjang hari-hari haji. Allah terus dipuji dan diagungkan dan memang tiada yang patut dipuji dan diagungkan kecuali Dia.
Manusia dari berbagai ras dan bangsa berkumpul menjadi satu. Mereka menjadi Dhuyuf ar-Rahman (tamu Allah yang Maha Pengasih). Memenuhi panggilan Allah yang pernah diserukan oleh Nabi Ibrahim AS. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Mereka sedang menikmati jamuan
Allah. Jamuan spiritual tingkat tinggi. Pengalaman agung yang tak terlupakan.
Saat itulah Allah membanggakan hamba-hamba yang hadir memenuhi panggilan-Nya.
“Jika hari Arafah, Tuhan turun dari langit dan membanggakan mereka (jamaah
haji) di hadapan malaikat-malaikat-Nya seraya berkata: “Lihatlah hamba-hamba-Ku
dengan rambut kusut, pakaian berdebu dan di bawah terik matahari dari berbagai
penjuru negeri. Aku memberitahu kalian bahwa, Aku telah mengampuni mereka.”
(HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, al-Bazzar)
Saat itulah rintihan hamba sangat
didengar. Waktu itulah munajat seorang hamba begitu mudah dikabulkan. Di tempat
mulia, pada hari mulia, pada ibadah mulia, pada keadaan yang diridhai Allah.
Dari
Tanah Suci untuk Kami
Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Umar bin Khattab ra memohon izin kepada Rasulullah untuk pergi
melaksanakan umrah. Umar berkata: “Beliau mengizinkan saya dan berkata kepada
saya, “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam doamu.” Dalam riwayat lain,
“Sertakan kami wahai saudaraku dalam doamu.” Selanjutnya Umar berkata: Suatu
kalimat yang lebih aku sukai daripada saya menguasai dunia ini. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Para ulama berbeda pendapat, apakah
hadits ini shahih atau tidak. Imam Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Sementara sebagian ulama mendhaifkan hadits tersebut. Dikarenakan ada perawi Ashim bin
Ubaidillah bin Ashim bin Umar bin Khattab yang dinyatakan dhaif oleh sebagian
ulama.
Terlepas dari perbedaan antara para
ahli hadits, ada beberapa hal yang bisa dibahas. Ashim dinyatakan dhaif oleh
sebagian ulama diantaranya al-mizzi yang menyatakan bahwa Ashim dhaif. Hal ini
berarti bahwa tingkat dhaif Ashim tidak berat apalagi sampai pendusta. Jika
haditsnya dinyatakan dhaif yang terlalu berat, maka disinilah nantinya para
ulama hadits berbeda pendapat kembali apakah bisa diterima hadits dhaif untuk fadhail a’mal (keutamaan beramal), sejarah, targhib (hadits anjuran) dan tarhib (hadits
ancaman) yaitu hadit-hadits yang tidak berisi tema aqidah dan halal haram. Dan
hadits di atas tidak membahas tentang aqidah juga bukan tentang halal haram.
Maka, masuk dalam perbedaan yang terjadi antara ahli hadits.
Pada pembahasannya, hadits ini
mengandung beberapa hal. Pertama, titip
doa kepada para tamu Allah pada ibadah haji dan di tempat-tempat mustajab doa. Kedua, titip doa kepada orang seperti Umar yang jelas memiliki
keshalehan tinggi. Ketiga, tawadhu’ Nabi saat meminta doa bahkan kepada orang yang
lebih kecil dan rendah secara derajat. Keempat, ad-dua’
bi dzahril ghoib (doa untuk saudara saat yang didoakan tidak bersama kita).
Keempat hal ini bisa dicarikan
sandaran dalil yang shahih. Sehingga kita keluar dari perbedaan yang ada.
Untuk masalah yang pertama, memohon
agar didoakan orang lain asal tidak salah orang bukan merupakan masalah. Salah
orang yang dimaksud umpamanya meminta doa dari non muslim. Atau doa muslim yang
fasiq. Karena untuk dikabulkannya doa, diperlukan beberapa syarat. Di antaranya
adalah kedekatan kepada Allah yang mengabulkan doa dengan iman dan amal shalih.
Memohon agar didoakan orang shalih,
justru masuk kajian dalam tema tawassul (mencari perantara). Ini adalah salah
satu tawassul yang dibolehkan dalam Islam. yaitu meminta doanya orang shalih
yang masih hidup. Para shahabat terbiasa meminta doa kepada Rasulullah
SAW untuk dirinya atau keluarganya. Jika mereka baru dianugerahi keturunan,
bayi masih merah itu langsung dibawa kepada Rasulullah untuk didoakan. Mereka
juga meminta doa kepada sesama mereka.
Orang shalih yang berangkat haji,
akan berkesempatan untuk bedoa sebanyak-banyaknya di tanah suci dan
tempat-tempat yang mustajab doa. Mereka menggabungkan antara konsentrasi ibadah
sehingga bisa banyak beribadah dan lebih khusyu’. Mereka juga akan melalui
waktu-waktu dan tempat-tempat istimewa yang tidak kita miliki di sini.
Menitip doa yang baik adalah kepada
orang yang jelas keshalihannya. Walau tidak seshalih Umar bin Khattab. Dengan
menitip doa kepada orang shalih, kita berharap doa-doanya dikabulkan Allah.
Karena kedekatannya kepada Allah dengan keshalihannya.
Riwayat di atas juga menunjukkan
ketawadhu’an Nabi. Saat beliau meminta agar didoakan oleh orang yang lebih
kecil secara usia dan lebih rendah secara derajat. Sekaligus, sebagai petunjuk
bahwa meminta doa kepada orang yang lebih rendah derajat dan keshalehannya
boleh dilakukan.
Umar sendiri mengajarkan kepada kita
pemahaman yang dibuktikan dengan praktik. Sebagaimana disebutkan dalam Siyar
a’lam an-Nubala’ saat menceritakan perjumpaan Umar dengan sekelompok masyarakat
Yaman yang menghadap Umar. Umar bertanya: Apakah di antara kalian ada yang
berasal dari suku Qarn. Sampai Umar mengenali seseorang dan bertanya: Siapa
namamu?
Dia menjawab: Uwais (al-Qarni)
Umar: Apakah kamu punya ibu?
Uwais: Ya
Umar: Apakah di badanmu ada belang
berwarna putih?
Uwais: Ya, saya berdoa kepada Allah
agar menghilangkannya kecuali sebesar dirham di pusarku, agar aku selalu bisa
mengingat (nikmat) tuhanku.
Umar: Mintakan ampun untukku
Uwais: Engkau lebih berhak untuk
memintakan ampun untukku, karena engkau sahabat Rasulullah SAW.
Umar: Saya pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang
laki-laki yang bernama Uwais. Dia mempunyai seorang ibu dan ada putih di
badannya, dia berdoa kepada Allah agar bisa hilang, maka Allah menghilangkannya
kecuali sebesar dirham di pusarnya.
Maka, Uwais pun memohonkan ampun
bagi Umar.
Kisah Umar dan Uwais menunjukkan
bahwa Umar meminta doa dari orang yang lebih rendah tingkat keshalihannya.
Karena, walaupun Uwais disebut sebagai tabi’in terbaik, tetapi Umar yang hidup
di generasi sahabat lebih mulia dan shalih dari Uwais.
Umar meminta doa dari Uwais karena
disebut oleh Rasulullah sebagai orang terbaik. Maka Umar meminta bagian dari
doanya, karena dia orang shalih yang telah disebut Rasulullah dalam
nubuwwatnya.
Menitip doa kepada tamu Allah, akan
menyebabkan doa dapat dikabulkan. Karena mereka akan berdoa untuk yang
ditinggal di sini, tanpa kehadiran orang yang didoakan. Ini yang disebut Nabi
SAW sebagai ad-dua’
bi dzahril ghoib (doa untuk saudara saat yang di
doakan tidak ada bersama kita).
Dari Shafwan bin Abdillah dia
berkata: Saya pergi ke Syam ingin menjumpai Abu Darda’ di rumahnya, tetapi dia
tidak ada. Saya hanya menjumpai istrinya, Ummu Darda’. Ummu Darda’ bertanya
kepada saya: Apakah kamu akan melaksanakan haji tahun ini? Saya jawab: Ya. Dia
berkata: “Doakan kebaikan untuk kami, karena Nabi SAW pernah bersabda, “Doa
seorang muslim untuk saudaranya bi dzahril ghoib (tanpa kehadiran saudaranya
itu) akan dikabulkan. Di dekat kepalanya ada satu malaikat yang ditugaskan agar
setiap dia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat itu ditugasi untuk
berkata: Amin (semoga Allah mengabulkan) dan kamu mendapatkan hal yang sama.”
(HR. Muslim)
Semangat mendoakan saudara sesama
muslim bi dzahril ghoib adalah merupakan kebiasaan orang shalih terdahulu.
Semangat mereka dilandasi janji Nabi bahwa doa dengan cara itu akan cepat
dikabulkan. Saudara yang didoakan dari jauh, segera mendapatkan hasil dari doa
itu dan bagi yang berdoa tidak ada ruginya, karena dia akan tetap mendapatkan
kebaikan dari doa itu sama dengan yang didoakan.
Seperti saat Ummu Darda’ shahabat
wanita mulia itu meminta doanya Shafwan yang hendak berangkat haji.
Titip doa kepada para tamu Allah.
Untuk kita di sini. Untuk kebaikan semua di sini. Untuk kemakmuran negeri ini.
Untuk hadirnya keberkahan agar terbenahi segala yang terburai. Apalagi di sini
serba kurang. Di sini serba sulit. Di sini dengan segala ketidakberdayaan,
dalam bencana yang datang silih berganti. Jangan lupakan kami di sini dalam doa
kalian di tanah suci.
Ghoib
Ruqyah Syar’iyyah
Sumber
: Majalah Al-Iman bil Ghoib Edisi 96/4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar