Sumber Semangat Orang-orang Beriman: Iman, Cinta, dan Takwa
Mereka kepada Allah
Semangat dan gairah orang-orang beriman sangat berbeda dari konsep
yang banyak dianut masyarakat jahiliah, yang didasarkan pada kepentingan.
Kecintaan orang-orang beriman kepada Allah dan ketaatan mereka kepada-Nya adalah
penyebabnya. Mereka tidak merasa terikat dengan kehidupan dunia ini seperti para
anggota masyarakat jahiliah, tetapi terikat dengan Allah, Yang Maha Pengasih,
yang menciptakan mereka dari bukan apa-apa, dan memberi mereka berbagai sarana.
Alasan yang terpenting ialah bahwa orang-orang beriman mengevaluasi
peristiwa-peristiwa dengan kesadaran yang jernih. Mereka sadar bahwa Allah
menjaga kehidupan seseorang setiap saat, bahwa Dia melindungi semua makhluk, dan
bahwa semua makhluk bergantung kepada-Nya. Disebabkan oleh cinta mereka dan
ketaatan mereka kepada Allah, mereka berusaha keras untuk memperoleh
keridhaan-Nya sepanjang hidup mereka. Hasrat untuk memperoleh ridha Allah
merupakan sumber terpenting semangat dan kegembiraan bagi orang-orang beriman.
Cita-cita untuk memperoleh ridha Allah dan mencapai surga menjadi sumber energi
dan semangat dalam diri orang-orang beriman.
Semangat Orang-orang Beriman Tidak Pernah Padam
"Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad
dengan harta dan jiwa mereka demi membela agama Allah. Mereka itulah orang-orang
yang benar." (Q.s. al-Hujurat: 15).
Penjelasan ini menunjukkan bahwa semangat orang-orang beriman
bersemayam dalam hati. Hal ini disebabkan karena perjuangan untuk mendukung
nilai-nilai mereka berlangsung seumur hidup dan hanya ditopang dengan semangat
yang bersumber pada keimanan. Kegigihan orang-orang beriman dalam usaha mereka
yang terus menerus juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw: "Perbuatan yang
paling dicintai Allah adalah perbuatan yang dilakukan dengan istiqamah." (H.r.
Bukhari).
Faktor lain yang membuat semangat orang-orang beriman tetap kuat
dan segar adalah rasa penghargaan yang disertai dengan kerinduan dalam hati
mereka, yang mereka alami sepanjang hidup:
"Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan.
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
(Q.s. al-A'raf: 56).
Makna dari "Rasa takut dan harapan" ialah sebagai berikut: Orang
beriman tidak pernah dapat yakin apakah Allah ridha dengan mereka, dan apakah
mereka telah memperlihatkan perilaku moral yang baik, yang membuat mereka layak
mendapatkan surga. Karena alasan ini mereka takut akan hukuman Allah dan
terus-menerus berusaha untuk menyempurnakan moral. Sementara itu, mereka tahu
bahwa melalui gairah dan ketulusan, mereka akan berusaha semaksimal mungkin
untuk memperoleh ridha Allah, cinta-Nya dan rahmat-Nya. Mereka mengalami
ketakutan dan harapan sekaligus; mereka bekerja keras tetapi tidak pernah merasa
usaha mereka cukup dan tidak pernah menganggap diri mereka sempurna, sebagaimana
dinyatakan dalam ayat:
"Mereka takut kepada Tuhannya dan takut dengan hisab
(perhitungan amal) yang buruk." (Q.s. ar-Ra'd: 21).
Karena itu, mereka memeluk agama Allah dengan semangat besar dan
melakukan usaha besar untuk kepentingan ini. Rasa takut kepada Allah menyebabkan
mereka tidak lemah-hati atau lalai, dan perasaan ini mendukung semangatnya.
Karena tahu bahwa Allah memberikan kabar gembira tentang surga bagi mereka yang
beriman dan beramal saleh, sehingga mendorong mereka untuk terus beramal dan
memperkuat komitmennya.
Sebagaimana terlihat, konsep orang beriman tentang semangat sangat
berbeda dari konsep masyarakat jahiliah. Dibandingkan dengan semangat
kontemporer orang-orang kafir, semangat orang beriman merupakan luapan
kegembiraan yang dipelihara oleh iman kepada Allah. Dia telah memberikan kepada
orang-orang beriman kabar gembira tentang hasil dari semangat yang terus-menerus
dalam al-Qur'an:
"Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin,
bahwa sesungguhnya mereka memperoleh karunia yang besar dari Allah." (Q.s.
al-Ahzab: 47).
Mereka Lebih Dahulu Berbuat Kebaikan
Iman dan ketaatan seseorang kepada Allah tidaklah sama. Allah telah
menyatakan bahwa dalam hal keimanan, orang-orang beriman itu memiliki
tingkatan-tingkatan tertentu:
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada
yang menganiaya dirinya sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan
diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (Q.s. Fathir: 32).
Apa yang memberikan kekuatan kepada mereka yang "lebih dahulu"
ialah ketaatan mereka kepada Allah dan kerendahan hati mereka di hadapan-Nya.
Keimanan mereka yang tulus memberi mereka semangat yang besar untuk
berlomba-lomba dalam memperoleh ridha Allah. Dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa
mereka yang berusaha dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka
akan diberi derajat yang tinggi di sisi Allah:
"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut
berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad demi
membela agama Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Kepada masing-masing Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad di atas orang yang duduk dengan pahala yang
besar. Yaitu beberapa derajat daripada-Nya ampunan serta rahmat. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.s. an-Nisa': 95-6).
Mereka yang "pertengahan" adalah orang-orang yang lebih memilih
jalan tengah daripada berusaha keras dengan hati dan jiwa mereka untuk
memperoleh ridha Allah. Tak diragukan lagi, kondisi mereka di akhirat tidak akan
sama dengan mereka yang lebih dahulu dalam beramal.
Di samping itu, Allah telah menyebutkan kelompok ketiga di kalangan
orang-orang Islam: mereka yang tertinggal dalam hal gairah mereka untuk
beramal.
"Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
berlambat-lambat (ke medan pertempuran)." (Q.s. an-Nisa': 72).
Sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang dikutip sebelumnya dari
Surat Fathir, orang-orang semacam itu menganiaya diri mereka sendiri, dan
keadaan mereka di akhirat akan mencerminkan perbedaan itu. Sementara mereka yang
lebih dahulu dalam beramal akan memperoleh derajat tertinggi dalam pandangan
Allah, tetapi mereka yang lalai akan melihat usaha mereka hilang kecuali jika
mereka bertobat dan mengganti kelalaiannya. Dua ayat dari al-Qur'an dapat
dikutip sebagai contoh tentang masing-masing keadaan:
"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad demi
agama Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya
di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Q.s.
at-Taubah: 20).
"Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan pahala
amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (Q.s. al-Ahzab: 19).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar